PARADIGMA PENGEMBANGAN WILAYAH

PARADIGMA PENGEMBANGAN WILAYAH

A.  Paradigma Keseimbangan Wilayah (The Regional Self  Balance)

Paradigma keseimbangan wilayah mendasarkan pada sumsi adanya keseimbangan ekonomi wilayah, dan sepenuhnya percaya pada mekanisme pasar sebagai alokator semberdaya paling efisien, sekaligus cara terbaik dalam memberikan kemakmuran bagi semua wilayah. 

Penganut paradigma ini percaya bahwa ketimpangan wilayah merupakan fenomena yang pasti hadir pada tahap awal proses pembangunan. Penjelasannya, adalah hal yang wajar, jika masing-masing wilayah dalam suatu negara tidak memiliki potensi yang sama dan sebanding, sebagai modal untuk tumbuh dan berkembang. Terdapat perbedaan kemampuan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, yang merupakan awal penyebab terjadinya ketimpangan antarwilayah.

Paradigma ini juga percaya bahwa padakurun waktu panjang, kekuatan pasar akan mengoreksi kesenjangan tersebut. Dengan kata lain, fenomena ketimpangan wilayah diyakini akan berakhir seiring dengan semakin tingginya kemakmuran suatu wilayah. Dengan kata lain, kesenjangan wilayah merupakan fenomena alamiah yang bersifat sementara (transisional).

Ada sejumlah faktor yang menentukan maju-mundurnya suatu wilayah. Yang terpenting adalah penduduk dan sumberdaya yang tersedia. Kemakmuran dipahami sebagai fungsi dari sumberdaya yang dimiliki. Semakin besar sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah, semakin besar kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang sebagai wilayah makmur. Selain itu, kemampuan mendayagunakan (eksploitasi) dan tingkat produktivitas juga menjadi penentu kemajuan suatu wilayah. Sumberdaya yang melimpah tidak secara otomatis menjamin wilayah akan makmur.

Dari uraian di atas, paradigma ini melihat kesenjangan wilayah dan keseimbangan wilayah akan terjadi secara otomatis. Mekanisme pasar akan menuntun ke arah keseimbangan. Asumsi yang mendasari optimisme ini adalah bahwa modal dan tenaga kerja akan bergerak ke wilayah yang memiliki keuntungan dan upah tinggi. Dengan logika ini, modal akan bergerak ke wilayah pinggiran –dimana tenaga kerja tersedia secara melimpah dan murah-, sedangkan tenaga kerja akan bergerak ke pusat pertumbuhan untuk memperebutkan upah tinggi.

Sebagai akibat gerakan perpindahan modal dan tenaga kerja yang saling berlawanan tersebut, wilayah pinggiran akan mengalami kelangkaan tenaga kerja dan kemelimpahan modal. Akibatnya, tingkat upah menjadi tinggi dan kemakmuran meningkat. Sebaliknya, kelangkaan modal dan kelebihan tenaga kerja akan menjadikan
 
pusat pertumbuhan merosot kemakmurannya karena tingkat upah yang menurun. Hasil akhirnya adalah terbentuknya keseimbangan antarwilayah.

Penjelasan di atas diyakini oleh paradigma keseimbangan wilayah sebagai mekanisme prinsipil yang akan menentukan langkah kerja kekuatan pasar dalam menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah. Beberapa ahli penggagas paradigma ini antara lain : Field (1969), Richardson (1973), Williamson (1968), dan Forbes (1984)..

Argumentasi dan logika paradigma ini bukan tanpa cacat berarti. Meningkatnya kesenjangan wilayah dan lemahnya asumsi paradigma ini telah melahirkan sejumlah reaksi yang luas, antara lain memunculkan berkembangnya pemikiran-pemikiran baru, yaitu paradigma ketidakseimbangan wilayah.

Beberapa kritik paradigma keseimbangan wilayah antara lain : (1) kecenderungan pasar yang monopolistik dan eksploitatif terhadap wilayah pinggiran, atau mekanisme pasar tidak terjadi sebagaimana mestinya; (2) hambatan pergerakan modal dan tenaga kerja antar wilayah, (3) terabaikannya biaya transportasi (transport cost); (4) prasarat terciptanya kondisi kesempatan kerja yang melimpah di pusat pertumbuhan; (5) tenaga kerja diasumsikan homogen, (6) informasi terdistribusi merata, dan (7) rasionalitas ekonomi (seers, 1983).

Menurut para pengritik paradigma ini, kondisi yang diasumsikan di atas tidak sepenuhnya terjadi dalam realitas. Karena itu, kondisi ideal yang disyaratkan bagi terciptanya keseimbangan wilayah adalah mustahil terwujud seperti diramalkan secara optimis oleh paradigma ini.


B.  Paradigma Ketidakseimbangan Wilayah (The Regional Imbalance)

Bertolak belakang dengan keyakinan paradigma keseimbangan wilayah, teori-teori dibawah naungan paradigma ketidakseimbangan wilayah justru memahami ketimpangan wilayah sebagai suatu yang melekat (inherent)  dalam mekanisme pasar.  Bekerjanya mekanisme pasar akan mengakibatkan terjadinya eksodus (pergerakan keluar) modal, tenaga kerja, dan keuntungan yang dihasilkan wilayah pinggiran ke wilayah pusat atau pusat pertumbuhan.

Paradigma ini melihat mekanisme pasar sebagai penyebab kesenjangan wilayah. Seers (1983) menyatakan bahwa persoalan ketimpangan wilayah berpangkal pada sebab-sebab yang bersifat struktural yang melekat pada sistem kapitalisme. Ditegaskan, bekerjanya kekuatan pasar pada tataran internasional, nasional, dan wilayah adalah kunci untuk memahami dan menjelaskan fenomena di atas.

Paradima ketidaksimbangan wilayah menyakini bahwa ketimpangan wilayah adalah gejala yang bersifat permanen (tetap). Kita dapat menganggap bahwa ketimpangan wilayah tidak terpisahkan (melekat)  pada sistem pasar. Ketimpangan wilayah merupahan muara (hasil akhir) sistem pasat. Selama mekanisme pasar diberi peluang bekerja secara leluasa (bebas, seperti free trade atau free figh liberalism), maka keseimbangan wilayah akan semakin memburuk atau ketimpangan wilayah semakin melebar.

Menurut pemahaman paradigma ini, ketimpangan wilayah juga disebabkan perkembangan yang cenderung memusat (centripetal). Ini berlaku bagi faktor modal, tenagakerja, keuntungan, yang semuanya bergerak ke wilayah pusat. Kecenderungan itu hanya bisa dikurangi dengan cara menyediakan peluang ekonomi di luar wilayah pusat pertumbuhan, yaitu dengan membangun pusat pertumbuhan baru sebagai kutub penyeimbang (counter poles). Dengan adanya counter poles diyakini akan menarik masuk modal, tenaga kerja, dan keuntungan sehingga tidak bergerak ke pusat. Paradigma ini memberikan posisi yang sangat kuat kepada negara untuk menciptakan pusat pertumbuhan baru. Dengan rekayasa tertentu, diharapkan ketimpangan wilayah dapat diakhiri.

            Myrdall (1964) mengemukakan bahwa mekanisme kekuatan pasar adalah kunci untuk memahami kesenjangan wilayah. Mekanisme pasar telah melahirkan dua akibat timbal balik, yaitu : (1) backwash effect, yaitu efek aliran balik dari pinggiran ke pusat, yang tercermin dari gerakan perpindahan penduduk, perdagangan, dan modal; (2) spread effect,  yaitu efek sebar dari pusat ke pinggiran, melalui hubungan perdagangan dan komplenetaritas (saling melengkapi) yang diperankan oleh wilayah-wilayah pinggiran.

Menurut Myrdal, kedua kecenderungan itu dalam realitas berjalan sangat tidak seimbang, backwash effect lebih mendominasi proses yang ada dibandingkan spread effect. Tenaga kerja, modal, dan keuntungan tersedot dari wilayah pinggiran ke wilayah pusat. Secara kumulatif wilayah maju akan terus berkembang, sementara wilayah pinggiran semakin tersisih. Kalaupun sama-sama mengalami kemajuan, maka kemajuan wilayah pusat jauh lebih tinggi dan cepat dibandingkan wilayah pinggiran. Hal ini menunjukkan menajamnya kesenjangan wilayah. Selanjutnya, Myrdal melihat masa depan masalah keterbelakangan dan ketimpangan wilayah dalam nuansa pesimis, karena fenomena ini dipahami sebagai kejadian permanen yang akan terus memburuk.

Selain Myrdal, penganut paradigma ini adalah Hirschman. Ia mendasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi pada prinsipnya berasal dari sektor-sektor unggulan. Konsepsi Hirschman dikenak dengan interindustries forward and backward linkages dengan sektor industri unggulan berfungsi sebagai motor penggerak sektor ekonomi lainnya. Hubungan antarkedua sektor (industri dan non industri) ini akan dipertemukan oleh efek tetesan ke bawah (trickledown effect),  suatu mekanisme perembesan (mengalirnya) keuntungan sektor unggulan di pusat pertumbuhan ke sektor bukan unggulan di wilayah pinggiran, untuk mencapai keseimbangan wilayah. Dari uraian tersebut tampak bahwa Hirschman lebih optimis dibandingkan Myrdall.

Menurut Hirschman, dalam jangka panjang perbedaan antara wilayah maju dan terbelakang akan dapat dikurangi. Ia melihat kedudukan pemerintah sebagai pengendali pasar (perlu intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar). Pertimbangan keadilan dan persatuan nasional akan memaksa campur tangan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan.

Perroux (1964) adalah pemikir utama lainnya yang medukung paradigma ini. Ia berpendapat, pertumbuhan tidak dapat terjadi di semua wilayah pada saat bersamaan. Pertumbuhan di atas terjadi pada sejumlah pusat pertumbuhan (growth center atau growth poles), untuk kemudian menyebar ke wilayah di sekitarnya melalui beberapa kegiatan ekonomi. Perroux percaya bahwa bergesernya waktu akan diikuti oleh lahirnya semakin banyak pusat pertumbuhan baru dengan serangkaian pengaruh yang sama ke semua wilayah. Pembentukan pusat-pusat pertumbuhan dimaksudkan untuk mencegah meluasnya kecenderungan pergerakan modal, tenaga kerja, dan keuntungan ke wilayah pusat. Perroux percaya bahwa dengan strategi pembentukan pusat pertumbuhan , ketimpangan wilayah akan dapat dikurangi dan wilayah pinggiran akan diuntungkan.

Paradigma ini lebih mengadopsi pola Eropa atau Amerika, dengan persyaratan advanced technology dan struktur kontinental, serta akses informasi yang relatif tersebar merata. Bagaimana untuk Indonesia


Sumber:

Rustandi, Rudi. 2014. "Paradigma Pengembangan Wilayah" dalam http://rusdi-education.blogspot.com/2014/04/paradigma-pengembangan-wilayah.html, diunduh Sabtu 24 November 2018.

 



   

I BUILT MY SITE FOR FREE USING